
oleh: zizi hashim
Seperti cermin yang menatap balik tanpa suara, terasa bagai ada sesuatu yang perlahan-lahan merayap ke bawah kulit ketika menonton Sukma (2025). Bukan sejenis ketakutan yang melompat tiba-tiba, tetapi sejenis resah yang diam. Menontonnya dalam dingin pawagam dan cahaya samar yang remang, barangkali sebab itu, setiap pantulan cahaya terasa seperti bisikan kecil yang menuntut untuk diperhatikan. Filem ini tidak bermula dengan teriakan, tapi dengan keheningan yang menyimpan rahsia.
Sutradara Baim Wong setelah sukses dengan Lembayung (2024), kembali ke kerusi pengarah dengan keberanian baharu. Kali ini, dia tak sekadar menghidupkan kengerian visual, tetapi membongkar sisi manusia yang terlalu ingin abadi. Bersama Ratih Kumala yang menulis naskhahnya, Sukma membawa tema tentang obsesi terhadap kecantikan dan umur panjang, satu cerminan halus terhadap masyarakat hari ini, yang sering terperangkap dalam ilusi kesempurnaan.


Sukma menggabungkan dua hal yang sering bertentangan dalam filem seram: ketegangan dan kesedihan. Ceritanya sederhana, berpusat pada Arini (Luna Maya) dan Pram (Oka Antara), pasangan yang baru pindah ke sebuah rumah lama di kota kecil selepas Arini bercerai dengan Hendra (Fedi Nuril). Rumah itu tampak biasa, namun sesuatu di dalamnya terasa “salah”. Sehingga suatu hari mereka menemui cermin kuno tersembunyi di ruangan rahsia, sebuah objek antik yang kemudian mengubah segalanya.
Dari situ, dunia mereka berputar dalam kekacauan: bayangan muncul di tempat yang salah, suara-suara samar menjerat waktu, dan mimpi buruk menjadi sebahagian dari siang hari. Kedamaian mulai retak, bayangan mulai berubah wujud, suara-suara samar muncul, dan hidup mereka perlahan-lahan ditelan rasa curiga.
Yang membuat Sukma berbeza ialah cara ia mengolah ketakutan. Tidak ada jumpscare murahan, tidak ada hantu yang tiba-tiba menjerit dari kegelapan. Baim memilih untuk membiarkan rasa takut tumbuh seperti lumut, perlahan tetapi pasti, menutupi permukaan jiwa hingga penonton tak sedar bila mulai menggigil. Kamera statik yang panjang, cahaya temaram, dan bunyi detak jam yang seolah tak mahu berhenti menjadi instrumen kegelisahan. Ia mencipta dunia yang sepi tapi hidup, cantik tapi berbahaya.



Ketegangan meningkat ketika Ibu Sri (Christine Hakim) muncul. Tak ada efek visual yang besar, tapi tatapannya saja sudah cukup menyalakan ngeri. Christine membawakan watak ini seperti penjaga dunia lama antara nyata dan roh. Suaranya rendah, langkahnya perlahan, tapi aura yang dibawanya begitu kuat hingga ruang pawagam terasa ikut menunduk. Ia bukan entiti jahat, tapi lebih menyerupai “cermin” bagi watak lain, menghadirkan bayangan tentang ketakutan terdalam yang mereka sendiri cipta.
Di sisi lain, Luna Maya tampil paling jujur dalam karier seramnya. Arini bukan wanita sempurna. Dia rapuh, mudah panik, namun punya keberanian yang datang dari cinta seorang ibu. Ada momen kecil ketika Arini duduk di depan cermin sambil menyentuh wajahnya sendiri, seolah ingin meyakinkan diri bahawa dia masih “ada”. Di situ Sukma mencapai kedalaman emosinya: ketika seram berhenti menjadi tentang hantu, dan menjadi tentang manusia yang kehilangan arah.


Fedi Nuril sebagai Hendra memberi sisi psikologi yang tak dijangka. Didera gangguan jiwa dan rasa bersalah, dia membawa dimensi tambahan membuat kita bertanya, apakah kejahatan itu benar-benar datang dari luar, atau dari dalam benak yang rosak? Oka Antara, dengan wajah dingin dan misterinya, menjadi kontras yang sempurna. Ada keheningan dalam dirinya yang membuat penonton waswas, apakah dia penyelamat, atau sebahagian dari malapetaka?
Dari sisi teknikal, Sukma menunjukkan peningkatan signifikan berbanding karya Baim sebelumnya. Sinematografi oleh Iqbal Fadly mencipta atmosfera kelam yang sangat terukur: warna coklat pudar, pencahayaan lampu pijar, bayangan lembut di dinding. Rumah itu sendiri seperti watak, setiap dindingnya menatap kilas balik. Rekabentuk produksi terasa autentik: cermin antik dengan ukiran halus, perabot lama yang berdebu, dan lorong-lorong sempit yang membangkitkan rasa klaustrofobia.
Efek visual digunakan seperlunya; tidak menenggelamkan cerita, hanya memperkuat ilusi bahawa cermin itu memang hidup. Namun, sound design terkadang terlalu menarik perhatian, beberapa adegan lebih menegangkan ketika sunyi. Kadang kesunyian, justeru, adalah bunyi yang paling menakutkan. Namun paling banyak saat dimana saya 'melatah kecil' dek kerana jumpscare yang bertalu-talu pada awalnya.


Naskah Ratih Kumala menjadi tulang belakang filem ini. Ia tahu bagaimana menulis ketakutan tanpa kehilangan kemanusiaan. Ada dialog kecil yang terasa seperti doa, ada momen diam yang terasa lebih nyaring dari jeritan. Meski beberapa transisi terasa tergesa-gesa di babak kedua, dan ada subplot yang tampak belum matang, keseluruhan struktur tetap kukuh dan berlapis. Ia membiarkan misteri hidup, tidak semua dijelaskan dan itulah keindahannya.
Menjelang babak akhir, filem ini memperlihatkan sisi gelapnya dengan lebih berani. Arini akhirnya berhadapan dengan Sukma sebenar, entiti yang bukan hanya menghantui, tetapi merepresentasikan bahagian dirinya yang paling kelam. Adegan cermin retak itu, meski simbolik, terasa sangat kuat: seolah setiap serpihan kaca adalah fragmen jiwa manusia yang cuba menyelamatkan diri dari pantulan yang ia ciptakan sendiri. Ending-nya mungkin terasa sedikit meleret bagi penonton arus perdana, tetapi bagi yang mengikuti perjalanan emosionalnya sejak awal, ia terasa pantas. Pahit, tetapi indah.
Sebagai filem seram, Sukma bukan tanpa kelemahan. Beberapa plot twist dapat diramal, dan ada karektor anak yang terasa sedikit kaku. Namun semua itu tertutup oleh kekuatan emosinya. Baim Wong membuktikan bahawa seram tidak harus berteriak. Cukup berbisik dengan lembut, tetapi meninggalkan gema panjang selepas layar gelap. Yang paling aku suka dari Sukma ialah keberaniannya menelanjangi ketakutan paling manusiawi: ketakutan terhadap masa, kehilangan, dan kefanaan. Di tengah dunia yang semakin terobsesi dengan kecantikan, filem ini seperti peringatan bahawa ada harga yang perlu dibayar setiap kali kita memuja bayangan sendiri terlalu lama.
Filem ini mulai tayang di pawagam seluruh Malaysia pada tanggal 30 Oktober 2025. Jika malam ini anda menatap cermin dan teringat wajah sendiri yang tampak sedikit asing, mungkin itulah waktu yang tepat untuk menonton Sukma. Filem ini bukan tentang hantu yang berlari di bayang, tetapi tentang manusia yang cuba memahami dirinya sebelum cahaya padam. Saksikan Sukma (2025) di pawagam terdekat dan biarkan kisahnya menatap balik dari sisi yang anda tak sangka ada. Kerana Sukma bukan hanya cerita tentang cermin yang berpuaka, tapi tentang manusia yang perlahan-lahan menjadi pantulan dari ketakutannya sendiri.