Dibuai Retrospektif Dua Sahabat 'Slam X Exists: Our Journey' Yang Sarat Nostalgia

oleh: zizi hashim

Hakikatnya kini kita berada di tahun 2025, namun pada malam 26 Julai yang lalu telah menyaksikan bagaimana 2 band tersohor di Malaysia iaitu Slam dan Exists membawa para peminat setia mereka sama-sama ‘flashback’ ke era 90an. Zaman kegemilangan mereka yang sememangnya kita ketahui adalah pada 30 tahun yang lampau, masih relevan dan masih laku show sana sini sehingga ke hari ini. Ini dibuktikan dengan kehadiran hampir 5,000 peminat setia yang datang, termasuklah fanbase mereka yang baru.

Megastar Arena menjadi saksi pertembungan dua nama besar sekaligus pertemuan semula kita dengan diri yang pernah muda, pernah luka, dan pernah jatuh cinta. Slam dan Exist memanggil kita pulang ke dalam momen yang tak pernah pergi. Petang itu langit mendung, seolah-olah tahu gerimis bakal hadir dari sudut hati yang belum kering rindunya. Langkah kaki bersaing dengan ratusan yang lain, berpakaian seperti zaman kaset dan walkman, hadir untuk mencari serpihan diri yang pernah hilang di perjalanan waktu.

Langsir malam dibuka dengan visual dan overture yang menggigilkan tulang belakang. Satu demi satu, anggota band naik dari dasar pentas seolah-olah bangkit dari sejarah untuk menjadi nyata kembali. Saat Ezad dan Zamani muncul, dunia terasa berhenti bernafas. Mereka bukan cuma vokalis; mereka pengembara waktu, menghantar kita kembali ke titik-titik yang pernah kita pendam.

Dua suara legenda itu kemudian terjalin dalam “Jesnita” dan “Kembali Merindu”, dua lagu yang bukan sekadar hits, tetapi sudah jadi manuskrip hidup buat ramai di antara kita. Ketika suara mereka mengalun serentak, saya lihat ada yang memejam mata lama-lama, ada yang genggam tangan pasangan erat-erat, dan ada juga yang tak mampu tahan air mata. Kerana siapa di antara kita yang belum pernah merindui sesuatu yang tak kembali?

Exist membawa kita menelusuri jalan-jalan sunyi cinta yang tak terbalas: “Seperti Dulu”, “Masih Terserlah Ayumu”, “Tak Mungkin Berpaling”, semuanya menyentuh seperti luka lama yang belum benar-benar sembuh. Dan saat “Mengintai Dari Tirai Kamar” berkumandang, saya seperti mendengar degup jantung remaja yang pernah menyukai seseorang dari jauh, cukup dari celah tirai, cukup sekadar tahu dia ada di situ.

Slam pula hadir dengan semangat balada yang tidak pernah luntur. “Nur Kasih”, “Jika Kau Rasa Getarnya”, dan “Suratan” melempar saya jauh ke dalam surat-surat lama yang pernah saya tulis tetapi tak pernah pos. Tapi momen yang paling menyentuh barangkali saat “Untukmu Ibu” berkumandang. Seluruh dewan diam, seolah-olah semua anak dalam ruang itu tiba-tiba tersedar betapa banyak kata-kata yang belum sempat diucap kepada seorang wanita yang melahirkan mereka. Bahkan suara Zamani pun tenggelam dalam lautan emosi yang mengalir tenang dan jujur.

Tepat ketika “Gerimis Mengundang” dimainkan, ribuan suara bersatu dalam bait-bait yang pernah memujuk hati kita sewaktu kehilangan. Lagu itu bukan sekadar klasik, ia adalah sejarah yang hidup, dan malam itu ia dilagukan dengan segala cinta yang masih bersisa. Disusuli pula dengan “Mentari Muncul Lagi”, bagaikan memberitahu meski hidup penuh hujan, cahaya akan tetap jua datang.

Dan ketika kedua-dua band kembali bersatu untuk menyanyikan “Kembali Terjalin” dan lagu baharu “Alasanmu 2025”, satu kesimpulan yang tak terucap terasa lengkap. Lagu baharu itu, meskipun lahir dari zaman kini, punya akar yang jelas dari era lampau. Ia seperti jambatan antara generasi: iramanya segar, tetapi rohnya tetap dari zaman yang membesarkan kita. Gabungan Ezad dan Zamani dalam lagu itu seperti deklarasi, Kami belum habis. Kami masih di sini. Dan kami masih perlu didengar.

Apa yang paling saya suka? Interaksi. Ezad berseloroh, Zamani berbicara dari hati. Ajai menyapa dengan mata penuh emosi. Mereka tahu, malam itu bukan milik mereka sahaja, tapi milik kita semua yang pernah menyulam kenangan dengan lagu-lagu mereka sebagai latar. Setiap tegur sapa dari pentas bagaikan sahutan kepada nama-nama yang pernah kita sebut dalam diari lama.

Segmen “Bounce & Wrap Up” adalah penutup yang menyentuh dan membungkus segalanya dengan kemas. Para penonton berdiri tanpa disuruh, lantas langsung dihanyutkan rasa. Ada yang berpelukan, ada yang menitis air mata, dan ada juga yang masih berharap malam itu takkan berakhir. Teknikal? Hampir sempurna. Bunyi jernih, visual penuh drama. Ada sedikit glitch di awal konsert tetapi itu seperti retak halus di cermin lama; tak menjejaskan keindahannya, malah membuatkan ia terasa lebih nyata.

Konsert ini bukan nostalgia kosong. Ia adalah sebentuk terapi. Ia adalah ruang untuk kita menangis tanpa malu, menyanyi tanpa suara yang sempurna, dan mencintai semula diri yang pernah kita tinggalkan. Gerimis di pipi dan getar di dada adalah perasaan yang saya alami sepanjang menonton perjalanan konsert. Slam dan Exist, malam itu kalian bukan sekadar mempersembah lagu. Kalian membuka pintu kenangan, dan membawa kami masuk semula, satu demi satu, tanpa sesat. Dan saya? Saya pulang malam itu dengan dada yang lapang, dengan hati yang sesekali masih menyanyikan:“Jika kau rasa getarnya cinta, itu mungkin aku...”