
oleh: zizi hashim
Suasana malam itu seakan bernafas sendiri sebaik langkah pertama saya memasuki Idea Live Arena. Malam hujan yang biasanya membawa muram tiba-tiba menjadi latar yang memperindah segalanya. Alam seolah turut sama ingin memberi sentuhan dramatik kepada pertemuan lima suara dari seberang yang sudah lama menetap di hati dan telinga pendengar Malaysia. Udara dalam arena terasa hangat dengan harapan, kerinduan dan rasa saling memahami yang tidak pernah dipersetujui secara lisan, tetapi wujud sebagai getaran halus yang menyatukan semua.
Pertunjukan muzik Tur SAMA SAMA tidak dibina sebagai hiburan semata; ia terbit seperti ritual lembut untuk menenangkan jiwa yang penat, mengejutkan emosi yang lama tertidur, dan memberi ruang kepada penonton untuk merasai keseluruhan spektrum perasaan tanpa disekat. Dan apabila mukadimah medley berkumandang, sorakan penonton meletus dengan energi yang menular cepat. Tidak ada satu pun jiwa yang kekal statik. Semua terangkat setelah sekian lama menunggu detik ini. Suara lima artis itu bersatu seperti sungai-sungai kecil yang bertemu di muara yang sama, masing-masing membawa warna dan kisah, namun akhirnya melimpah menjadi arus besar yang menggerakkan seluruh malam 5 Disember 2025 itu.


Nada pertama malam itu hadir sebagai sapaan lembut. Bagaikan angin yang menolak perlahan daun pintu emosi, membuat kita duduk lebih tegak, bersedia untuk disentuh. Setiap suara masuk bertahap: Tulus dengan ketenangannya, Dere dengan rapuh yang indah, Idgitaf dengan kejujuran mentah, Sal Priadi dengan lirih yang mendalam, dan Kunto Aji yang selalu terasa seperti seorang kawan lama yang mengerti apa yang tak pernah diucapkan.
Segmen solo bermula dengan Idgitaf, yang hadir dengan aura lembut tetapi tegas. “Mulai” dan “Satu-Satu” mengalir seperti lembaran journal hati yang dibacakan tanpa ragu-ragu. Dere kemudian hadir menyambung dengan kelembutan feminin yang pada mulanya tampak rapuh, tetapi sebenarnya sarat keteguhan. “Puspa” dan “Jona” terasa seperti pelukan perlahan kepada sesiapa yang pernah merasa kehilangan.
Tulus datang menyuntik cahaya. “Jatuh Suka” dan “Kelana” membuat penonton tersenyum tanpa sedar, membawa nostalgianya yang selembut kelopak bunga ditiup angin. Hati seakan ditarik pulang ke kenangan yang pernah hangus tetapi masih disimpan rapi. Sal Priadi hadir dengan kedalaman yang hanya dimiliki pemilik jiwa puitis sejati; “Irama Laot Teduh” dan “Mesra-mesranya” menjadi gumaman hati yang sukar diterjemahkan dengan kata-kata biasa. Kunto Aji kemudian meratakan semua itu menjadi satu ruang refleksi. “Rona Merah Langit” dan “Konon Katanya” menyentuh seperti cahaya petang yang menyorot sisi luka dan sisi sembuh sekaligus dalam masa yang sama.


Segmen kolaborasi menjadi jantung pertunjukan malam itu. “Tujuh Belas” dan “Saudade” dalam satu pentas oleh Tulus dan Kunto Aji membentuk momen magis; suara mereka saling melengkapi seperti dua bintang yang duduk rapat di langit yang sama. “Mercusuar” pula berubah menjadi pernyataan harapan. Dengan tiga suara lantunan dari Tulus, Kunto Aji dan Sal Priadi, lagu itu menjadi simbolik bahawa manusia selalu mencari cahaya, meskipun dari jauh.
Duet Sal Priadi dan Dere mempersembahkan “Kita Usahakan Rumah Itu”, sebuah pengingat bahawa rumah tidak selalu memerlukan bangunan. Kadangkala cukup dua hati yang saling menerima dan berasa selamat. “Serta Mulia” versi gita-pianika yang dibawa Sal Priadi dan Idgitaf pula menghadirkan suasana ceria yang spontan, seolah seketika semua keletihan dunia hilang begitu sahaja. Penonton larut tersenyum dalam alunan muzik nan indah.
Lalu muncul babak yang paling menyentuh seluruh ruangan: pembacaan puisi lima artis, “Puisi Jernih” bertema kemaafan. Setiap bait turun perlahan-lahan, seperti embun yang menitis ke dalam hati yang retak. Setiap baitnya seperti menghapus debu di hati. Penonton diam, bukan kerana terpesona, tetapi kerana sedang mengingati seseorang atau mungkin mengingati diri sendiri.


Segmen seterusnya bagaikan mozek perasaan yang disusun rapi. Idgitaf memberikan versi minimalis “Sedia Aku Sebelum Hujan” mencipta ruang sunyi yang indah. Sejenak kemudian, Dere hadir dengan “Kota,” memperlihatkan bagaimana lagu boleh berubah menjadi cerita apabila disampaikan dengan kejujuran. Gabungan Dere, Tulus, dan Sal Priadi dalam “Nala – Biar Jadi Urusanku” mencipta lapisan emosi yang hampir abstrak, sementara “Berisik” dan “Takut” menjadikan seluruh Idea Live Arena sebuah tempat renungan. Duet Dere dan Idgitaf dalam “Tumbang” terasa ibarat memegang tangan penonton dan berkata, tak apa kalau jatuh sekali-sekala, kita masih boleh berdiri semula.
Idgitaf sukses membuat seluruh arena berdiri berjemaah ketika menyanyikan “Pilu Membiru,” memberi interpretasi baharu kepada lagu yang selama ini menjadi penawar luka ramai orang. Ia antara detik paling berharga dan tidak bakal terlupakan pada malam itu. Tur SAMA SAMA ini kalau menurut saya bukan sekadar pertunjukan, tetapi sebuah pelindung sunyi. Di sinilah lima jiwa: Tulus, Kunto Aji, Sal Priadi, Dere dan Idgitaf menjadi penjaga emosi penonton yang hadir dengan hati yang bercampur-baur antara ingin melupakan, ingin memaafkan dan ingin disayangi oleh sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.


Standing ovation malam itu bukan penghargaan semata, tetapi reaksi spontan dari hati-hati yang akhirnya berani membuka pintu. Ketika Tulus membawa “Monokrom” sekali lagi seluruh arena sunyi seperti menahan nafas. “Hati-Hati di Jalan” oleh Kunto Aji pula menjadi doa kolektif untuk semua jiwa yang pernah tersesat dalam perjalanan hidup. “Dari Planet Lain” oleh Sal Priadi dan Kunto Aji menutup luka-luka lama dengan metafora lembut yang menghiburkan.
Finale “Satu Kali” ditutup dengan suara yang berpadu bagai gelombang yang perlahan-lahan menghilangkan segala gema duka. Ia bukan sekadar penutup, tetapi janji: bahawa setiap orang yang hadir akan pulang dengan jiwa sedikit lebih ringan daripada ketika mereka tiba. Suara-suara itu bercampur seperti orkestra spontan, menjadi bukti bahawa muzik, pada akhirnya, adalah bahasa hati yang paling universal.


Tur SAMA SAMA bukan sebuah pertunjukan muzik yang datang dan pergi; ia sebuah ingatan yang akan menetap lama. Ia merayakan cinta, luka, harapan, pengampunan dan kebersamaan. Semuanya diterjemah melalui lima suara yang tidak saling bertanding, tetapi saling mengangkat. Siapa pun yang berada di Idea Live Arena malam itu tahu satu perkara ini. Kita pulang sebagai manusia yang sedikit lebih lembut, sedikit lebih memahami, dan sedikit lebih percaya bahawa perasaan yang dikongsi sentiasa menjadi lebih indah.
Dan mungkin itulah hadiah sebenar pertunjukan ini: mengembalikan kemampuan kita untuk merasakan. Sampai jumpa lagi!