Konflik Trauma Punca 'Dia Bukan Ibu', Seram Yang Datang Dari Dalam Keluarga Bukan Hantu

oleh: zizi hashim

Angin segar yang datang di tengah lambakan filem seram yang jenuh, membawa 'Dia Bukan Ibu' dalam nuansa seram psikologi yang lebih deep dan mengganggu jiwa. Sesuatu yang menyentuh sisi tergelap dalam diri: tentang keluarga, kehilangan, dan cinta yang berubah menjadi ancaman. Naskhah digarap oleh Beta Inggrid Ayu, Titien Wattimena, dan JeroPoint, karya ini lahir dari thread viral di X (dulu Twitter) yang menggemparkan dunia maya.

Kisah seorang ibu yang perlahan-lahan berubah menjadi sosok asing bagi keluarganya sendiri. Di tangan sutradara Randolph Zaini, kisah yang lahir dari layar digital itu menjelma menjadi pengalaman sinematik yang menyayat, mengadun rasa ngeri dan hiba dalam satu tarikan nafas.

Cerita berputar di sekitar Yanti (lakonan memukau Artika Sari Devi), sang ibu kepada Vira (Aurora Ribero) dan Dino (Ali Fikry). Setelah tragedi besar, mereka berpindah ke sebuah rumah lama yang jauh dari komuniti dengan harapan untuk memulakan hidup baru. Namun setiap pintu yang terbuka justeru membawa serpihan rahsia yang tak seharusnya dibangkitkan. Yanti, yang dahulu lembut dan penyayang, berubah menjadi dingin, manipulatif dan kejam. Tatapannya kosong, nadanya asing, dan kasihnya menjelma menjadi ancaman.

Vira dan Dino, anak-anak yang masih remaja, dalam ketakutan yang tak terucap. Mulai curiga ibu yang mereka cintai tidak lagi mereka kenal, mungkin telah digantikan dengan sesuatu yang lain. Saya tersentak oleh realisme yang tajam. Randolph tidak mengejar teriakan atau lonjakan adrenalin; sebaliknya, dia membiarkan ketegangan merayap perlahan, mengikat dada penonton satu persatu. Seramnya tidak datang dari hantu, melainkan dari kerapuhan kasih dan trauma keluarga yang terpendam. Tanpa spoiler, plotnya membangun rasa tidak nyaman secara bertahap, membuat saya mempersoalkan realiti dan ikatan keluarga.

Tema utama 'Dia Bukan Ibu' adalah broken home dan trauma keluarga yang dibalut dengan elemen mistik seperti possession atau pengaruh ghaib. Menyingkap sisi tergelap keibuan, bagaimana cinta seorang ibu, jika tertekan oleh kesunyian dan tuntutan, dapat menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan. Randolph menghadirkan ini tanpa menghakimi. Ia hanya memperlihatkan bahawa di bawah senyum lembut seorang ibu, mungkin tersimpan luka yang tidak pernah sembuh.

Adegan demi adegan membawa simbolisme yang menggigit. Kucing yang memakan anaknya sendiri, ayam yang disembelih, susu yang tumpah,  semuanya metafora bagi tekanan yang membentuk dan menghancurkan perempuan dalam peranannya sebagai ibu. Randolph bahkan menyebut, “Kucing adalah simbol spesies yang boleh melukai anaknya sendiri saat terancam dan itulah realiti keibuan yang jarang dibicarakan.”

Sinematografi yang gelap dan claustrophobic, dengan pengambilan gambar close-up pada wajah-wajah penuh ketakutan, berhasil menciptakan rasa sesak. Dalam ruang sempit dan cahaya redup yang membuat kita terasa bagai terperangkap bersama karektor di rumah itu. Suara langkah, bisikan samar, dan bunyi pintu yang berderit mencipta atmosfera yang begitu hidup hingga terasa menembus kulit.

Kalau tanya saya, kekuatan filem ini lahir dari lakonan Artika Sari Devi. Sebuah transformasi total yang membuatku hampir lupa bahawa ia hanyalah lakonan. Dari senyum keibuan yang menenangkan hingga tatapan kosong yang membuat darah berhenti mengalir, Artika bergerak seperti bayangan: lembut tetapi mematikan. Dedikasinya luar biasa. Ia menjalani method acting, menurunkan berat badan 3 kilogram demi menghidupkan watak ini. Tak hairan jika ramai berpendapat penampilannya dianggap salah satu yang paling menonjol.

Kemistrinya dengan Aurora Ribero dan Ali Fikry menambah kehangatan yang perlahan-lahan terkoyak. Hubungan kakak-adik yang rapuh, penuh bisu dan ketakutan, menjadikan penonton ikut terperangkap dalam ketakutan emosi mereka. Aurora Ribero sebagai Vira juga solid, menampilkan remaja yang rapuh tetapi acah-acah berani, sementara Ali Fikry sebagai Dino menambah elemen emosi dengan kepolosannya. Konflik keluarga terasa sangat nyata dan relatable. Meski begitu, pada bahagian tengah cerita agak dragging dan repetitif, dengan adegan yang berulang untuk membangun ketegangan tapi malah terasa lambat.

Filem ini tidak hanya menakut-nakutkan, tetapi juga mengajak refleksi tentang hubungan keluarga dan trauma yang tak terselesaikan. Di tengah banjir filem seram tahun ini, karya ini menyerlah kerana keberaniannya bereksperimentasi. Di sebalik jeritan dan darah, 'Dia Bukan Ibu' memantulkan kritik sosial tentang bagaimana masyarakat menuntut perempuan untuk tetap kuat, lembut dan sempurna, bahkan ketika mereka sedang hancur. Yanti menjadi representasi perempuan yang ditekan oleh ekspektasi dunia: harus menjadi ibu yang sabar, wanita yang anggun, manusia yang tidak boleh gagal.

Randolph mengupas ini dengan cara yang simbolik dan subtile, tidak menghakimi, tetapi membiarkan penonton menafsir sendiri luka-luka yang tersembunyi di sebalik ritual, rajah dan mantra. Selain itu, ada warning penting: filem ini menampilkan adegan eksplisit penyiksaan haiwan (khususnya kucing dan ayam) yang membuat saya berasa tidak nyaman dan ngilu. Ini menjadi catatan buat pencinta binatang atau penonton sensitif. Kalau menurut saya, 'Dia Bukan Ibu' adalah seram yang memuaskan, terutama bagi yang bosan dengan formula lama.

Tayangan di pawagam Malaysia bermula 9 Oktober 2025, filem ini mengingatkan bahawa rumah, tempat kita mencari teduh, boleh saja menjadi sumber mimpi buruk paling terdalam. Randolph Zaini mempersembahkan seram yang tidak berhenti di layar, tetapi ikut menetap dalam benak, seperti bayangan yang enggan pergi. Bagi peminat filem Hereditary atau Evil Dead Rise, filem ini akan terasa familiar, tetapi berakar pada tanah nusantara, dengan nuansa budaya yang pekat dan emosi yang jujur. Meski durasinya 1 jam 59 minit terasa agak padat, keseluruhan pengalaman menonton tetap intens dan sekaligus memikat.