oleh: zizi hashim
Bayangkan anda telah mengorbankan segalanya untuk cinta: saat hati dengan rela meninggalkan kampung halaman semata-mata demi cinta yang diyakini seutuhnya, bahkan turut melibatkan masa depan yang pernah dirancang tenang. namun sesampainya di destinasi tujuan, cinta itu lenyap bagai kabut yang hilang dihembus bayu. Itulah kisah yang dibentang dalam filem 'Assalamualaikum Beijing: Lost in Ningxia', dikatakan kesinambungan dari romansa lintas budaya yang sempat menyentuh hati penonton satu dekad silam.
Karya terbaru sutradara Guntur Soeharjanto, diadaptasi langsung dari pena Asma Nadia bersama Benni Setiawan. Filem produksi Starvision Plus ini hadir sebagai lanjutan dari kisah yang pernah menggoncang hati penonton satu dekad lalu, tetapi kini dengan wajah dan suara yang sepenuhnya baru. Dengan barisan pelakon popular seperti Yasmin Napper membawa watak Aisyah dengan penghayatan yang jujur dan rapuh, Emir Mahira sebagai Arif tampil misteri sekaligus penyebab parut luka masa lalu, Baskara Mahendra sebagai Mo yang memberi warna baru dalam dinamika cerita dan ramai lagi.
Aisyah, seorang wartawan tabah, nekad merantau ke Ningxia demi mengejar Arif (Emir Mahira), lelaki yang pernah dipercayai sebagai takdir jodohnya. Aisyah berangkat bersama Evy (Ria Ricis) dan Victor (Lolox), membawa misi liputan, namun di balik tugasan itu, tersimpan tekad untuk mencari lelaki yang dicintai sepenuh jiwa. Usahanya penuh harapan, dari pintu ke pintu, dari alamat lama ke pejabat yang sunyi, hanya untuk disambut dengan khabar bahawa Arif sudah menghilang. Cinta yang dia bela bagai benteng, runtuh dalam sekelip mata.
Hatinya jadi porak-peranda, terasa semua pengorbanan sangat sia-sia. Ketika luka hampir membuatnya menyerah, takdir mempertemukan Aisyah dengan Mo (Baskara Mahendra), pemuda keturunan Tionghoa-Indonesia yang hidup di Ningxia bersama ayah dan adiknya. Mo hadir dengan kehangatan sederhana, sekadar bantuan kecil, senyuman ringan, dan telinga yang setia mendengar. Tetapi justeru dari kesederhanaan itu, hati Aisyah mulai menemukan kekuatan untuk berdiri lagi.
Mo bukan hanya menolong, tetapi juga cermin yang mengajarkan Aisyah makna ikhlas, makna melepaskan, dan makna cinta yang tidak menuntut balasan. Sekaligus perlahan-lahan memapah Aisyah, membantunya mengenali kembali jati diri dan erti ketulusan. Bayangan cinta yang hadir bagai pelita, memberi cahaya pada hati yang gelap. Namun apa yang paling menakuktkan ialah apabila pelita itu padam di tengah perjalanan.
Keindahan Ningxia sendiri tampil sebagai watak kedua. Landskap padang pasir, bangunan tua, dan langit yang berganti dari kelabu ke jingga menjadi latar yang meneguhkan perjalanan batin Aisyah. Visual ini tidak sekadar pemandangan eksotik, tetapi naratif bisu yang bergema: betapa manusia sering kali perlu tersesat jauh di tanah asing untuk menemukan pulang yang sejati. Dengan keindahan yang menenangkan, ritma cerita yang seperti alunan doa, meski kadang berliku, membawa kita menyelami luka yang perlahan-lahan dirawat dengan iman.
Namun, cerita tidak selalu setenang sungai di musim semi. Ketika Mo mulai hadir sebagai cahaya baru, Arif kembali dengan segala misterinya. Aisyah terperangkap pada dilema: apakah harus tetap menggenggam cinta lama yang pernah ia perjuangkan mati-matian, atau membuka ruang untuk cinta yang datang saat luka masih menganga?
Pertanyaan ini menampar perasaan saya sebagai penonton. Bukankah kita semua pernah dihadapkan pada pilihan yang sama rumitnya, memilih antara masa lalu yang pernah jadi rumah atau masa depan yang menjanjikan kedamaian?
Yasmin Napper bermain penuh kelembutan dan keberanian, membuat Aisyah terasa begitu nyata: rapuh tetapi tidak pernah benar-benar kalah. Emir Mahira menghadirkan Arif dengan lapisan luka, sementara Baskara Mahendra mencuri hati dengan kehangatannya. Kehadiran Ria Ricis dan Lolox memberi ruang lega lewat humor, tanpa merosakkan nada emosional filem ini.
Meski ada subplot keluarga Mo yang terasa berpanjangan dan sedikit meleret-leret, naskhahnya tetap membawa inti yang kuat: pencarian jati diri melalui cinta, iman, dan keberanian untuk melepaskan. Ada dialog-dialog yang berbekas lama selepas tayangan berakhir, terutama saat Aisyah menyedari bahawa terkadang melepaskan adalah bentuk cinta yang paling murni.
Filem ini tidak hadir untuk mengajar, tetapi mengajak kita merenung. Tentang bagaimana iman mampu menjadi kompas di tengah-tengah kehilangan, tentang bagaimana cinta tidak selalu berakhir dengan memiliki, dan tentang bagaimana luka boleh menjelma menjadi pintu menuju kedewasaan.
Saya keluar panggung dengan hati yang berat namun hangat, seakan baru saja mendengar sebuah syair panjang yang menenangkan sekaligus mengguris hati. Assalamualaikum Beijing 2: Lost in Ningxia bukan sahaja romansa lintas budaya, tetapi juga refleksi diri: kadang kita harus tersesat jauh di tanah asing, hanya untuk menemukan kembali rumah sejati dalam hati kita sendiri.
Sinematografi yang syahdu, dialog yang mengalir natural, serta alunan soundtrack “Jalan Cinta” oleh Fadhilah Intan menjadikan filem ini pengalaman yang emosional. Tayangan bermula di pawagam Malaysia pada 4 Septemberv2025, dengan durasi 1 jam 49 minit. Jangan biarkan kisah Aisyah berlalu begitu saja, sebuah perjalanan mencari cinta, jati diri, dan makna ikhlas yang akan menyentuh hati sesiapa pun yang pernah jatuh, kehilangan, dan kembali bangkit.