oleh: zizi hashim
Satu perjalanan batin yang merobek halus sisi dalam diri kita, Materialists, garapan sutradara Celine Song, membuat saya duduk teringat sesuatu yang pernah saya alami lama dulu tetapi sangat tidak mahu saya ingat lagi. Benar-benar terasa seakan menatap cermin retak yang memantulkan raut wajah saya sendiri. Cinta yang tak pernah sederhana, pilihan yang tak pernah ringan, dan luka yang tak selalu sempat sembuh.
Saya masuk pawagam dengan harapan akan menemukan rom-com manis, namun keluar dengan hati yang terasa dikoyak perlahan lalu ditinggalkan berdenyut dalam kesepian. Lucy (Dakota Johnson) adalah seorang matchmaker professional, pakar penghubung cinta orang lain, namun ironinya dia sendiri gagal menemukan pasangan untuk dirinya.
Pertemuan dengan sang lelaki kaya 'unicorn' Harry (Pedro Pascal) yang memenuhi senarai kriterianya seakan menjanjikan jawapan, tetapi kehadiran John dengan tatapan sunyinya dan pesona karismatik Chris Evans menjadikan hatinya terperangkap dalam segitiga yang penuh kontradiksi. Filem ini menyindir dengan getir, cinta itu tentang keperluan atau sekadar keinginan? Dan mampukah kita jujur pada diri ketika jawapan itu menyakitkan?
Celine Song berani membongkar lapisan cinta moden dengan perlahan. Ritma naratifnya sengaja dilambatkan, membiarkan kita berlama-lama di lorong sepi, di jeda tatapan, di renungan tanpa kata. Bagi sebahagian orang mungkin membosankan, tetapi bagi saya di situlah letaknya keindahan. Setiap bingkai 35mm adalah lukisan yang sarat details, setiap dialog mengalir seperti percakapan sehari-hari, dan setiap diam membawa gema lebih keras daripada letupan emosi. Tiada arka besar, tiada perubahan drastik, justeru realisma inilah yang membuatnya begitu manusiawi.
Dakota Johnson memikul beban naratif dengan gemilang. Sebagai Lucy, dia tampil dengan nuansa sinis yang menutupi rapuhnya jiwa. Ada lapisan-lapisan luka dalam tatapannya, ada kekosongan dalam senyum yang dipaksakan. Pedro Pascal, dengan karisma alami, menjadi penyeimbang, sementara Chris Evans menyingkap sisi lain dari dirinya. Tenang, subtil, namun penuh daya hancur. Setiap jeda, setiap hembusan nafasnya, menyentuh lebih dalam daripada seribu dialog panjang. Saya kerapkali mengulang-ulang adegan dalam kepala, kerana tiap tatapan terasa punya gema sendiri.
Yang membuat saya terkesima ialah bagaimana Celine menganyam akar budaya ke dalam naskhah ini. Konvensi lama lelaki-perempuan dipertembungkan dengan realiti moden. Wanita yang semakin kukuh, lelaki yang goyah mempertanyakan eksistensinya. Dunia kapitalistik yang membungkus percintaan dengan harga, status, dan tuntutan. Namun di celah-celah itu, cinta masih berusaha bernafas. Bukan cinta ideal, tetapi cinta yang rapuh yang terus menuntut keberanian untuk memilih.
Visualnya sungguh memukau. Sinematografi Shabier Kirchner bergerak lancar, bagaikan menari mengiringi perjalanan emosi para watak-watak. Warna, cahaya, dan ruang seolah-olah sengaja dibiarkan “hidup” bukan setinggan artifisial, tetapi dunia nyata yang kita tahu pernah kita pijak. Skor Daniel Pemberton pula hadir seperti bisikan yang tak pernah mengganggu, hanya menambah kedalaman rasa, terutama di momen-momen sunyi.
Saya teringat satu adegan ketika Lucy hanya duduk sendiri, tanpa kata, sekadar termenung dalam ruang penuh cahaya senja. Begitu sederhana, namun hatiku terasa terhimpit. Filem ini tidak cuba membuat kita menangis dengan adegan melodrama, tetapi membuat kita luluh dengan sepi yang terlalu dekat dengan realiti. Suatu ketika dulu, saya pernah jadi seperti Lucy. Saya sangat benci pada perkahwinan dan tidak percaya ada cinta sejati. Saya percaya setiap yang berkahwin pada akhirnya akan menjadi dingin dan pasti bercerai.
Melihat Lucy, bagai melihat diri sendiri. Filem ini buat saya rasa seperti baru membaca puisi panjang yang menusuk halus ke dalam dada. Materialists tidak memberi jawapan mutlak, malah melemparkan soalan yang lebih berat: sanggupkah kita melepaskan apa yang kita inginkan demi menerima apa yang kita perlukan? Atau kita akan terus hidup dalam ketidakpastian, berdansa dengan kompromi?
Filem ini membuat saya percaya bahawa cinta tidak mati, meski ia kini hidup dalam dunia yang semakin dingin dan materialistik. Ia mungkin tak menghancurkan dengan tangisan besar, tetapi ia bisa meninggalkan luka halus yang membekas lama, seperti bisikan yang kembali setiap kali kita merasa sendirian. Hadir sebagai cermin realiti tentang cinta, pilihan, dan kejujuran hati. Jangan lepaskan peluang untuk merasai kisah yang merentap emosi ini, mulai ditayangkan di pawagam seluruh Malaysia bermula 28 Ogos 2025, dengan durasi 1 jam 57 minit.
Nikmati lakonan penuh jiwa Dakota Johnson, Pedro Pascal, dan Chris Evans yang menyalakan layar dengan kemistri yang sukar dilupakan. Biarkan karya arahan Celine Song ini mengajak kita merenung tentang cinta di zaman yang sering terlalu materialistik, namun diam-diam masih hauskan keikhlasan.